Langsung ke konten utama

Hidup di Perantauan

Hidup memang penuh warna dan cerita, dimanapun kita berada. Pada babak hidup gue kali ini, gue masih terjebak di negeri sendiri tapi bukan di tanah sendiri. *ya iyalah, orang gue belum pernah beli tanah. Maksud gue, pada babak hidup gue kali ini, gue masih berada di tanah perantauan. Gue yang notabene orang Jowo tulen dilempar oleh perusahaan untuk menjalani hidup di luar Pulau Jawa. Alhasil, pada detik ini gue berada di Pulau Sulawesi, tepatnya di kota Makassar.

Meskipun gara-gara perusahaan gue dilempar ke pulau lain, tapi gue masih bersyukur. Seengga'nya gue masih di kota. Dibandingin sama temen-temen gue yang ditugaskan di daerah yang lebih pelosok  pedalaman masuk di Pulau Sulawesi.

Pola hidup di Makassar pun tak jauh beda dengan kota-kota di Jawa, kecuali perbedaan waktu antara Jawa dengan Sulawesi dimana gue harus muter poros jam tangan sampai nambah 1 jam dari waktu di Jawa. Dan karena perbedaan waktu ini, pada awal-awal waktu gue pindah ke Makassar gue sering ga sengaja datang terlambat ke kantor dengan  alasan belum terbiasa dengan perbedaan waktu antara Jawa dengan Sulawesi. *JANGAN DITIRU tapi boleh dicoba.
Hahaha.

Selain perbedaan zona waktu, satu hal lagi yang rada mencolok dan menohok adalah perbedaan kurs Rupiah dengan barang primer. Dengan kata lain HARGA BARANG-BARANG POKOK JAUH LEBIH MAHAL DIBANDINGKAN DENGAN HARGA DI JAWA. Dan itu nohok banget.

Bayangin aja, harga sewa kamar kos sebulan 750 ribu itupun kosongan ga ada isinya. Itu baru kamar kos, belum yang lain. Misalkan harga makanan di warung pinggir jalan cuma dengan ikan bakar bisa menguras saldo kantong 30 ribu lebih.

Nah lo, kerasa banget apalagi buat gue yang notabene baru beranjak dari dunia kuliah dengan status anak kos yang serba irit karena keterbatasan. Di sini status itu masih nempel, perbedaannya cuma sekarang gue kerja dan iritnya karena harganya yang mahal-mahal.

Memang ga semua sih semahal itu, ada juga yang murah. Tapi berhubung gue hidup di daerah pegawai maka alhasil harga-harganya disesuaikan dengan status pegawai juga.

Untungnya di depan kantor persis (ya ga persis-persis juga sih, di depan kantor ada jalan raya soalnya, nah setelah nyebrang jalan raya itu maksudnya, sambil miring 37 derajat) ada Warung Makan yang mau kompromi dengan isi dompet. *Alhamdulillah, sujud syukur habis solat.

Nama Warungnya Minak Djinggo, nih penampakannya :


Nih warung makan nangkring di Jalan Hertasning Raya, silahkan cari sendiri ya kalo ke Makassar. Harganya dijamin murah. Dengan duit 10 ribu udah dapet nasi ayam krispi. Noh bayangin seberapa murahnya. Jadi bisa diibaratin itu seperti oasis di gurun Sahara. *oke, ini lebay

Saking murahnya hampir setiap hari pas jam istirahat makan siang ke sana. Selain harganya yang murah, menunya juga beragam dan lagi, air mineral gelasnya gratis. Hehehehe.

Yah memang Tuhan Maha Adil, pasti membantu hambanya yang membutuhkan, seperi gue yang membutuhkan tempat makan murah tanpa melupakan faktor gizi dan citarasa.

Sekian dulu postingan kali ini, semoga berkenan membaca dan mengambil hikmahnya *kalo ada. Hehehe.

Komentar

  1. kasian amat idup lu, sabar ya kakakkk..huahahahahahahahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. ga kok, saya menikmatinya sambil tertawa melihat pantai
      huahahahaha
      *tertawa kejam

      Hapus
  2. whuakakakakak, aduh mau nampilin foto sama mas McD ga bisa nih :p

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Do'a Anak Kecil Agar Ramadhan Setiap Hari

"Assalamu’alaikum. Mak, Udin habis dari rumah Pak Mamat." Lapor Udin pada Emaknya. Sebulan setelah bulan Ramadhan lewat. "Tapi Pak Mamat udah ga' mau ngasih makan lagi, ga' kaya' kemarin pas puasa. Pak Mamat selalu mau ngasih Udin makan." "Kata Pak Mamat sih buat bayar fidyahnya soalnya ga' kuat kalau puasa. Lucu ya Mak, Pak Mamat kok ga’ kuat puasa. Udin yang kelas 5 SD aja puasa penuh. Pak Mamat kan badannya gede, sehat.” “Eh, tapi ga' papa ding, kan kalau Pak Mamat puasa Udin malah ga' dapat makan. Hahaha....." Udin tertawa, meralat omongannya sendiri. Tapi Emaknya tidak ikut tertawa. "Jarang-jarang kan Udin bisa makan pakai telur, kemarin malah sempat ada potongan ayamnya." Kenang Udin, sambil mengusap air liur yang mengalir di sudut bibirnya. "Kenapa kalau pas bulan puasa orang-orang pada baik ya Mak?"

Akibat Menunda-nunda

Hello guys, udah makan? Kalo belum makan, sok makan dulu gih, karena sesungguhnya makan lebih bermanfaat daripada ngebaca postingan kali ini. Awal bulan kemarin gue terpaksa ngedatengin rumah sakit, bukan karena gue mau ngegodain suster-suster di sana loh, tapi karena gue kena penyakit clavus di kaki dan terpaksa dioperasi ringan. Buat yang ga' tahu apa itu clavus silahkan cari informasi sendiri. Tapi pastiin dulu kalau kalian tahan ngelihat gambar yang ekstrim, dan gue juga ga' bertanggung jawab sama apa yang terjadi pada kalian selanjutnya. Jadi gue udah ngerasa kena penyakit ini sejak kurang lebih 3 bulan lalu, habis gue "asik" jebur-jeburan dan 3 hari dayung kano di Jatiluhur. Tapi berhubung waktu itu belum begitu besar dan ga begitu sakit, gue pun menunda-nunda untuk mengobati penyakit ini. Tapi semakin didiemin penyakit ini kok malah semakin menjadi, ga mau akur. Semakin besar dan menyakitkan, seperti kenangan yang sulit dilupakan. *oposih

Memunafikkan Jawaban

" Siti sayang sama Abang kan ?" Joko bertanya dengan manja pada Siti, kekasihnya. " Emmmm, gimana ya Bang ?" jawab Siti manja. " La emang gimana, sayang ga' ?" kali ini Joko memaksa, agak ga sabar. " Emmm, iya iya bang. Masa' engga'?. " Siti akhirnya menyerah. " Oke deh sayang, Abang kerja dulu ya. " pamit Joko sembari menutup telephonnya. Siti menghela nafas, kemudian meletakkan handphone di tas kecilnya. Sedetik kemudian. " Tadi siapa? " tanya seseorang pada Siti. " Oh, biasa sayang, si Joko. " jawab Siti dengan nada manja, kemudian merangkul tangan pria berjenggot panjang dan berkumis lebat yang tadi mengajukan pertanyaan.