Langsung ke konten utama

Do'a Anak Kecil Agar Ramadhan Setiap Hari


"Assalamu’alaikum. Mak, Udin habis dari rumah Pak Mamat." Lapor Udin pada Emaknya. Sebulan setelah bulan Ramadhan lewat.

"Tapi Pak Mamat udah ga' mau ngasih makan lagi, ga' kaya' kemarin pas puasa. Pak Mamat selalu mau ngasih Udin makan."

"Kata Pak Mamat sih buat bayar fidyahnya soalnya ga' kuat kalau puasa. Lucu ya Mak, Pak Mamat kok ga’ kuat puasa. Udin yang kelas 5 SD aja puasa penuh. Pak Mamat kan badannya gede, sehat.”

“Eh, tapi ga' papa ding, kan kalau Pak Mamat puasa Udin malah ga' dapat makan. Hahaha....." Udin tertawa, meralat omongannya sendiri. Tapi Emaknya tidak ikut tertawa.

"Jarang-jarang kan Udin bisa makan pakai telur, kemarin malah sempat ada potongan ayamnya." Kenang Udin, sambil mengusap air liur yang mengalir di sudut bibirnya.

"Kenapa kalau pas bulan puasa orang-orang pada baik ya Mak?"

"Haji Jenal, yang rumahnya tingkat di pojokan itu, yang kebonnya luas, ga' marah kalau Udin ngambil buah mangganya. Kadang malah bagi-bagi kalau panennya pas bulan puasa."

"Tapi kemarin Udin dimarahin gara-gara ngambil buah mangganya sebiji, sempat kena pu...." Udin memotong ceritanya, tidak ingin Emaknya tahu kalau kemarin dia dipukul pakai gagang sapu karena ketahuan mengambil buah mangga Haji Jenal.

"Padahal kan Udin ngambil karena laper, bukan buat bikin kaya. Ga' kaya' korup, korup..." Udin terdiam sejenak, mengingat kata-kata yang tidak asing namun susah ditangkap oleh ingatannya.

"Ga' kaya' orang-orang yang ngambil harta rakyat biar bisa kaya itu." Ralat Udin, setelah kunjung tidak mengingat kata yang dimaksud.

“Apa orang-orang ga’ dengerin kata Pak Ustadz ya Mak? Orang kaya’ Udin ini kan wajib dibantu.” Keluh Udin.

“Beras zakat fitrah kemarin juga udah habis Mak.” Lapor Udin.

“Seandainya Ramadhan ga’ cuma sebulan dalam setahun ya Mak. Seandainya Ramadhan bisa setiap hari. Biar Udin ga’ bingung lagi nyari makan. Biar orang-orang pada mau bagi-bagi rizki.”

“Susah ya Mak, setelah Bapak per....” Lagi-lagi Udin memotong kalimatnya. Tidak ingin dia mengingat Bapaknya yang pergi meninggalkan dia dan Emaknya. Dia juga tidak ingin Emaknya jadi mengingat Bapak.

Lima tahun lalu Bapaknya meninggalkan Udin dan Emaknya yang sedang sakit. Bapaknya menikah dengan perempuan yang jauh lebih muda, dan pergi ke luar kota. Setelah itu, jangankan uang untuk hidup, kabarpun sudah tidak pernah lagi diberi. Entah dimana, dan bagaimana kabar Bapaknya sekarang, Udin sudah tidak tahu lagi.

Udin tidak mau mengingat kejadian perih itu. Tapi, tak bisa dipungkiri. Air matanya mulai menetes di sudut matanya. Meskipun ditahan sebisa mungkin. Semakin ditahan, semakin deras air matanya mengalir. Dia menunduk, tidak ingin Emaknya tahu. Dia sudah berjanji untuk tidak menangis lagi di depan Emaknya.

“Maafin Udin Mak, Udin kangen. Kangen Bapak, Emak, Udin bisa kumpul lagi kaya’ dulu.”

“Udin ga’ minta macem-macem kok Mak, Udin ga’ minta baju baru buat lebaran. Baju yang lama juga ga’ papa. Udin ga’ minta duit fitrah Mak, yang penting bisa makan setiap hari Udin udah bersyukur. Udin ga’ minta sepeda buat main Mak, bisa main bareng Bapak Emak Udin udah seneng.” Udin menumpahkan segala isi hatinya, di tengah tangisnya sore itu.

Sayup-sayup azan ashar terdengar dari masjid di tengah kampung. Udin menyeka air matanya. Sebisa mungkin menahan sesenggukan.

“Udah ya Mak, Udin pulang dulu. Maaf Udin jarang nengokin dan bersihin makam Emak. Akhir-akhir ini Udin jualan koran juga, soalnya semir sepatu udah jarang Mak.”

“Assalamu’alaikum Mak.”


Komentar

  1. Waalaikumsalam Udin, sehat sehat ya. Aduh, baca ini jadi terharu, membayangkan aku ada di posisi Udin.

    Jadi penasaran sama cerita cerita Udin yang lain. Tapi memang Din, di bulan puasa semuanya serba baik, semoga saja kebaikan mereka gak cuma pas Ramadhan ya

    BalasHapus
  2. Seketika langsung kena ke hati pas baca epilognya :') Kuat ya din, masih banyak orang baik kok di dunia ini. Fighting!!!

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Memunafikkan Jawaban

" Siti sayang sama Abang kan ?" Joko bertanya dengan manja pada Siti, kekasihnya. " Emmmm, gimana ya Bang ?" jawab Siti manja. " La emang gimana, sayang ga' ?" kali ini Joko memaksa, agak ga sabar. " Emmm, iya iya bang. Masa' engga'?. " Siti akhirnya menyerah. " Oke deh sayang, Abang kerja dulu ya. " pamit Joko sembari menutup telephonnya. Siti menghela nafas, kemudian meletakkan handphone di tas kecilnya. Sedetik kemudian. " Tadi siapa? " tanya seseorang pada Siti. " Oh, biasa sayang, si Joko. " jawab Siti dengan nada manja, kemudian merangkul tangan pria berjenggot panjang dan berkumis lebat yang tadi mengajukan pertanyaan.

Ketika Batas Waktu

terngiang-ngiang di sela waktu dalam kuasa tawa mengisi masa seiring nafas detik berlalu dalam lelah tangis terdengar lemah tak ada yang tahu rahasia Illahi yang hakiki karena kita manusia biasa tak kuasa menolak takdirNya meski semua tahu tiap-tiap umat memiliki batas waktu namun tak ada yang tahu kapan datangnya batas waktu ketika batas waktu tiba kita hanya bisa berdo'a semoga amal kita di dunia menjadi penyelamat dari siksa neraka dan pengiring menuju nikmat surga karena kita manusia biasa tak kuasa menolak takdirNya ketika batas waktu tiba

Akibat Menunda-nunda

Hello guys, udah makan? Kalo belum makan, sok makan dulu gih, karena sesungguhnya makan lebih bermanfaat daripada ngebaca postingan kali ini. Awal bulan kemarin gue terpaksa ngedatengin rumah sakit, bukan karena gue mau ngegodain suster-suster di sana loh, tapi karena gue kena penyakit clavus di kaki dan terpaksa dioperasi ringan. Buat yang ga' tahu apa itu clavus silahkan cari informasi sendiri. Tapi pastiin dulu kalau kalian tahan ngelihat gambar yang ekstrim, dan gue juga ga' bertanggung jawab sama apa yang terjadi pada kalian selanjutnya. Jadi gue udah ngerasa kena penyakit ini sejak kurang lebih 3 bulan lalu, habis gue "asik" jebur-jeburan dan 3 hari dayung kano di Jatiluhur. Tapi berhubung waktu itu belum begitu besar dan ga begitu sakit, gue pun menunda-nunda untuk mengobati penyakit ini. Tapi semakin didiemin penyakit ini kok malah semakin menjadi, ga mau akur. Semakin besar dan menyakitkan, seperti kenangan yang sulit dilupakan. *oposih