Hidup Tanpa Sinyal di Madopolo

Gimana perasaan kalian kalau bbm pending, jaringan sibuk, sms ga' kekirim, atau internet lemot? Kalau kalian sering dongkol, marah, bahkan sampai gigitin pinggiran meja karena masalah-masalah di atas, mungkin kalian perlu ngebaca postingan gue kali ini.

*****

Minggu kemarin, gue dapat tugas dari perusahaan untuk mengunjungi daerah di dekat Bacan. Nama daerahnya Madopolo. Sebenernya ga' begitu jauh sih tempatnya dari Bacan, kira-kira cuma 5 centimeter. Iya beneran 5 centimeter. Tapi 5 centimeternya di peta.

Gue berangkat ke Madopolo dari Bacan kira-kira jam 8 WIT. Niat awalnya gue pengen naik naga, tapi berhubung solarnya habis gue pun pasrah ketika sarana transportasi yang tersisa tinggal kapal laut.

Kapal Laut yang Berjasa Mengantar Tubuh Hingga ke Tempat Tujuan

Kurang lebih 4 jam gue naik kapal itu, gue juga ga' tahu kenapa bisa lama. Mungkin karena jaraknya emang jauh, mungkin juga karena kapal bergerak pelan. Tapi berdasarkan analisa gue yang paling kuat, nahkodanya iseng dan sengaja ngambil rute yang ga' wajar biar kerasa jauh.

Garis Merah Kemungkinan Rute yang Diambil Nahkoda

Setelah 4 jam bergoyang ria di dalam kapal dengan kondisi laut berombak, akhirnya gue sampai juga di Madopolo. Jangan tanya di sana gue disambut pakai apa, yang jelas ga' ada tarian penyambutan sama sekali. Gue disambut sama tukang ojek yang berebut penumpang.

Gue ga' bisa milih tukang ojek yang cewek, karena emang ga' ada. Apalagi harus ngadain casting biar gue bisa dapat tukang ojek yang mirip Revalina S. Temat. Karena gue udah terlanjur mabok akibat perjalanan laut, gue cuma asal milih tukang ojek.

Jangan dikira gue nemu pasir putih di Madopolo, karena di sana ga' ada pantai yang bagus. Jalanan juga masih berupa jalan tanah berbatu.

Begitu sampai di tempat tujuan, gue segera ngecek hp untuk sekedar ngabarin kalau gue udah sampai. Tapi gue kecewa, karena gue ga' nemu sinyal sama sekali. Gue cuma bisa nelan ludah dicampur es buah, ketika gue dengar jawaban ke penduduk sekitar pas gue tanya tentang sinyal.

"Di sini ga' semua tempat ada sinyal Mas." Begitu kira-kira jawabannya.

Dan gue pun ngehabisin es buah dengan syahdu.

Malamnya kerjaan gue udah selesai, gue minta diantar sama penduduk sekitar ke lokasi yang emang ada sinyal. Ternyata di sana bukan cuma gue yang nyari sinyal, tapi ada beberapa orang lagi yang emang nyari sinyal.

Kalau biasanya di kota-kota ada yang namanya hotspot area, di Madopolo ada juga tempat seperti itu, tapi tempat buat nyari sinyal. Mungkin lebih tepatnya disebut signal area.

Para Pemburu Sinyal

Gue pun nimbrung sama mereka untuk mendapatkan sinyal. Satu menit, dua menit, tiga puluh menit kemudian . . . . . . GUE MASIH BELUM DAPAT SINYAL. Sementara pemburu sinyal yang lain udah pada asik smsan. Hati gue teriris ketika sadar, hape yang katanya smart kalah sama hape senter milik pemburu sinyal yang lain.

Gue pun nyerah untuk memburu sinyal dan memutuskan pulang, untuk selanjutnya mengerjakan sesuatu yang lebih penting. Tidur.

Pagi harinya gue udah packing mau pulang secepatnya dari Madopolo. Tapi sepertinya gue belum diijinin buat pulang dan menikmati sinyal. Pas gue mau pulang dikasih kabar dari penduduk sekitar bahwa kapal ga' ada yang berangkat ke Bacan. Gue pun cuma bengong, setengah ga' percaya harus bertahan satu hari lagi tanpa sinyal.

Mau gimana lagi. Gue ga' mungkin berenang sampai Bacan. Gue pun balik lagi ke tempat gue menginap. Ketika membuka hape untuk sekedar ngegame, gue baru sadar kalau gue emang ga' jodoh sama yang namanya hape.

Gue lupa ngecharge baterainya hingga cuma tersisa beberapa persen. Dan gue ga' bisa ngecharge karena mati listrik. Yap, di Madopolo listrik cuma nyala selama 12 jam dari jam 6 malam sampai 6 pagi. Itu artinya siang hari ga' ada listrik di Madopolo.

Gue manyun, dan cuma bisa mandangin hape dengan sedih.

Gue memutuskan untuk jalan-jalan, sekedar menghabiskan waktu di pinggir pantai. Gue pengen nyari tempat nongkrong yang enak, yang kira-kira bisa membuat gue lupa sama masalah sinyal. Akhirnya, setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh gue nemu satu tempat di pinggir pantai yang enak dibuat nongkrong.

Tempat Gue Nongkrong

Yap, tempat itulah yang gue pergunakan buat nongkrong. Tempat "nongkrong" yang gue jadiin nongkrong. Gue jadi kepikiran seandainya gue punya jamban seperti itu, pasti gue nikmatin waktu boker gue. Boker sambil menikmati deburan ombak, pasti syahdu sekali.

Di tempat itu pula gue merenung, bahwa selama ini gue kurang bersyukur kalau gue bisa menikmati sinyal setiap saat, meskipun ga' setiap saat gue bisa dapat sinyal 3G. Gue juga merasa kurang bersyukur, meskipun internet di kantor lemot tapi seengga'nya gue bisa menikmati wifi di kantor maupun di mess dengan gratis. Gue juga kurang sadar, bahwa gue termasuk beruntung bisa menikmati listrik selama 24 jam.

Bandingkan dengan masyarakat Madopolo. Jangankan internet, sinyal aja mereka harus susah payah untuk mendapatkannya. Bayangkan jika seandainya dalam kondisi terdesak, dan butuh memberi kabar ke  keluarga yang jauh.

Belum masalah transportasi antar pulau yang cuma sekali sehari, itupun belum tentu ada. Tergantung kondisi cuaca di laut. Juga masalah listrik yang cuma menyala 12 jam sehari.

Ah, terlalu banyak masalah yang belum teratasi di negeri ini. Dan terlalu banyak hal yang ga' gue syukuri. . . . .